Foto: Sumber/fb/taricupmuach |
PULAU TERkUTUK
BAB 42 (Kejujuran Amelia)
VISTORBELITUNG.COM,Di sebuah rumah kecil tanpa adanya cahaya lampu di dalamnya.
Amelia membaringkan tubuh Sarah tanpa alas apapun di bawahnya. Bisa dibilang dia sekarat.
Lebih tepatnya. Mereka berteduh di salah satu rumah penduduk yang sudah direnovasi.
Memangnya mau pergi kemana mereka? Tak ada tempat yang bisa mereka tuju.
Ternyata, Amelia sengaja menyeret paksa tangan Sarah agar mengikutinya. Mereka menjauhkan diri dari rekan-rekannya yang lain.
Waktu itu tubuh mereka sudah basah kuyup diguyur oleh hujan. Jalanan sampai tergenang oleh air.
Lampu juga tak sepenuhnya ada. Yang pastinya mereka akan melewati jalanan yang gelap gulita tanpa ada satupun penerangan di sekitarnya.
"Kita mau kemana, Amel?" teriak Sarah kala itu. Walau dia sangat patuh mengikuti kemana temannya itu pergi, tetap saja dia juga punya rasa penasaran, karena harus berjauhan dari temannya yang lain.
"Ikuti saja, aku tahu jalan pintas disini, biarkan saja mereka," jawab Amelia yang ikut berteriak. Maklum hujan sangat lebat, jadi nada bicara mereka harus keras agar terdengar. Lagipula mereka sedang berlari bukan berjalan.
Sambil memayungi diri menggunakan tangan masing-masing. Mereka terus berlari, hingga tibalah pada sebuah rumah sederhana yang di dalamnya sudah kosong tanpa ada satupun barang yang tersimpan.
Hanya saja sudah ada lukisan bertema horor yang tergambar di dinding ruangan tersebut.
"Kita disini dulu, tunggu sampai hujan reda, baru kita pulang," ucap Amelia sambil menyeka wajah juga lengannya.
Tubuh yang basah telah berhasil membuat mereka menggigil kedinginan.
Sarah meringkuk di dalam rumah kecil tersebut.
Ada rasa takut yang menjalar dihati. Nampak gelap di depan sana.
Walaupun dia hanya ingin melihat hujan turun yang disertai kilatan petir di atas langit, namun ditengah pekatnya malam yang nampak gelap gulita, ada rasa takut ketika menatapnya.
Ternyata gelap itu seram.
Karena takut melihat hal yang tak diinginkan, akhirnya dia memilih mundur dan mengikuti Amelia dibelakangnya.
Tapi yang terjadi malah di luar dugaan.
Jleep...
Saat dia sudah membalikkan tubuhnya. Keris yang sudah dibawa Amelia langsung ditusukkan ke dalam perut Sarah, yang mengakibatkan dia lemah menahan sakit.
Tangannya yang gemetar masih sempat mengenggam erat lengan Amelia. "Amel...," ucapnya lirih.
Saking sakitnya, Sarah hanya mampu bernapas pelan. Di tambah perasaan terkejut yang dilakukan sahabatnya padanya.
Tanpa punya hati, Amelia langsung menarik keluar kerisnya lalu mendorong tubuh Sarah hingga dia terkapar tak berdaya.
Dengan sisa tenaga yang Sarah miliki, dia bertanya dengan suara lemahnya sambil menatap Amelia yang tengah berdiri memandangnya. "Amel, kenapa?"
Namun, Amelia bukannya menjawab malah menyeret tubuh lemah sahabat kecilnya hingga dia bisa bersandar di dinding, tujuannya agar Sarah mampu melihat wajah puas yang terukir indah dari senyum manisnya.
Namun saking lemahnya tubuh Sarah saat ini, akhirnya dia roboh dan berbaring lagi di tanah dengan tangannya yang masih menempel pada perutnya yang kini sudah banyak mengeluarkan darah.
Amelia diam di depan tubuh sahabatnya yang selama ini selalu berperilaku baik terhadapnya.
Dia berjongkok sambil memandang wajah keputus-asaan Sarah saat ini. Namun dia juga tahu ada raut wajah tanda tanya pada saudaranya, dan sedang menunggu sebuah jawaban darinya.
Amelia tersenyum kecil dan berkata, "Kenapa, kamu kaget?" setelah itu dia mulai duduk dalam posisi menekuk kedua kakinya, dan tangannya dia rentangkan diatas kedua lututnya.
Sambil memainkan keris kecil di tangannya, dia berucap, "Aku bosan dengan hidupku, Sarah. Aku juga lelah berpura-pura. Entah sampai kapan aku harus diam tanpa menuntut sebuah keadilan untukku dan ibuku."
Sarah hanya diam mendengarkan, sembari memegang perutnya yang teramat sakit, bahkan bibirnya sudah nampak pucat. Dia hanya bisa menahannya sambil berlinang air mata.
Lalu Amelia melanjutkan lagi kalimatnya. Dengan tatapan kosong dia menambahkan, "Apa kamu tahu rahasia besar papamu, Om Beni Samantha?"
Amelia menyungging senyum sinis, dia lalu beralih menatap lekat wajah sahabatnya, lalu mencoba berbisik di telinganya, "Papamu adalah ayahku."
Saking terkejutnya, ayat yang terlontar telah berhasil membuat mata Sarah melotot tak percaya.
"Bohong, kamu bohong!" teriaknya ketika Amelia memundur pelan tubuhnya.
Amelia tertawa, "Ha ha ha, aku?" tanyanya sambil menunjuk diri sendiri. "Untuk apa aku bohong. Aku adalah putrinya. Papamu dan ibukku sudah menikah secara agama. Dan kau tahu apa yang buat aku muak dengan kalian? Papamu bahkan menyembunyikan identitas siapa kami sebenarnya."
Sarah terus menggeleng. Dia tak percaya dengan semua pengakuan Amelia yang dirasa tak masuk akal baginya.
"Dan tujuanku membawamu kesini adalah, untuk mengambil alih apa yang seharusnya menjadi hakku dan ibuku."
Mendengar ucapan Amelia yang terdengar mematikan tersebut, Sarah mulai paham apa niat sesungguhnya.
Dengan napas yang tak beraturan, Sarah bertanya, "Jadi, kamu ingin membu*uhku?"
Amelia menjawab dengan ekpresi datar, "Ya."
"Aku sudah tak butuh papamu, aku hanya ingin mengambil apa yang seharusnya menjadi miliku dan ibuku. Itu saja, Sarah."
"Bisa dikatakan kita ini saudara beda ibu, tapi sayangnya... Karena ulah Om Beni, ah salah, ayah Beni Samantha maksud ku, rasanya risih jika aku harus benar-benar menganggapmu sebagai saudara. Bukankah begitu?"
"Kamu jahat, Amel!" ucap Sarah menangis, dia sungguh tak percaya jika teman yang dia percaya tega ingin melayangkan nyawanya.
"Aku jahat? Sungguh. Kamu berpikir aku sekejam itu? Kalian yang merubahku, Sarah," jawab Amelia tak terima.
"Bertahun-tahun kami hidup serba kekurangan namun kalian hidup dengan bergelimang harta. Bertahun-tahun aku menunggu sebuah pengakuan pada akhirnya kami dilupakan."
"Jadi kau anak ha*am yang terlahir dari benih ibumu dan berharap dapat pengakuan dari papaku? Sungguh miris," cibir Sarah yang tiba-tiba memotong kalimat panjang dari isi hati sahabatnya.
Dan sindiran pedas tersebut mampu menarik emosi pada diri Amelia. "Jaga bicaramu, Sarah!"
"Itu fakta, Amel. Tak sangka hanya karena hal itu kau ingin membu*uhku. Apa salahku padamu?"
Air mata putri semata wayang keluarga Samantha telah tumpah membajiri pipinya, dia menangis terisak-isak. Betapa sakit hatinya karena dia tahu hidupnya harus berakhir di tangan sahabat karibnya sendiri.
Mendengar hal tersebut, tangan Amelia mengepal menahan amarah. Namun dia masih sabar dan tetap tersenyum sambil membalas, "Namun untuk soal kasih sayang seorang ibu. Bukankah aku jauh lebih beruntung, Sarah?"
Sarah yang lemah hanya bisa diam.
Berusaha mengatur napas yang sulit dihembuskan. Dia lelah. Bisa dibilang dia telah pasrah andai malam ini sudah tak sanggup lagi bertahan.
Ingin mengelak tentang sebuah kebahagiaan, namun apa yang Amelia ucapkan semuanya benar, Sarah Moira Samantha memang bergelimang harta, namun dia miskin kasih sayang. Dan itu fakta
Sekarang ini pandangannya juga buram. Yang Sarah pikirkan saat ini adalah bertahan, dan dia akan mencoba.
Matanya pun lemah saat berkedip. Hanya setetes air mata saja yang tersisa saat ini.
Penampakan kejam depan mata terlihat jelas oleh Yasinta yang sedang memandang mereka dengan heran.
Tusukan di perut mengingatkan dia tentang rasa sakit yang sempat dia rasa sebelum bertemu dengan ajalnya.
Apa yang dipikirkan para manusia yang masih hidup sebenarnya?
Tak bisakah hidup sewajarnya saja?
Jangan lemah karena ego dan dendam. Apa untungnya?
Tak bisakah hanya berpikir kerja dan makan tidur?
Sesulit itu kah berusaha menjalani hidup tanpa menciptakan beban dihati?
Tangan Yasinta mengepal sempurna. Dia benci sebuah pengkhianatan. Dia juga benci dengan kekejaman.
Bola mata yang tadinya berwarna hitam langsung berubah warna menjadi merah semerah darah.
Sorot matanya bagai belati tajam yang baru diasah. Dia seolah siap menghadapi maut untuk kedua kalinya.
Yasinta menatap marah Amelia. Dia ingin sekali melakukan kejahatan malam ini. Namun sebuah tangan kecil telah berhasil menahannya.
Balita mungil menggapai tangan Yasinta. Mata bulatnya memandangnya dengan kasihan. Si kecil menggeleng seolah berkata (belum waktunya). Akhirnya sentuhan tangan anak malang itu telah memadamkan amarah yang kini di rasakan oleh wanita yang hidupnya bahkan belum bahagia.
Tidak. Yang benar adalah, mereka sama-sama belum bahagia.
***************
"Non, dimana? Non Sarah?"
"Non Amel."
Mereka memanggil dengan harapan ada sahutan dari yang punya nama.
Namun Amelia juga tahu, kapan bisa menjawab dan kapan waktunya untuk diam sementara. Jadi dia tak akan menyahut andai di panggil.
"Kemana mereka, ya?" tanya Pak Winoto sambil berpikir harus kearah mana lagi dia melangkah.
"Apakah kita perlu berpencar?" tanya Ilham yang juga sama-sama bingung. Ini malam dan masih hujan. Apakah harus senekad itu di malam hari?
"Jangan satu-satu, Pak! Dua orang pergi sana, ke arah tempat bermain, sedangkan dua orang lagi pergi ke pesisir pantai. Aku dan Pak Saiful saja yang pergi ke arah pantai," Adit hanya berusaha mencegah agar tak semua orang ikut pergi menghilang.
"Betul, jangan pergi sendiri-sendiri! Jika terjadi sesuatu dengan diri kita, bagaimana bisa membawa pulang Non Sarah?" Pak Saiful juga ikut bersuara.
"Kita harus menemukan mereka sebelum fajar, ayo!"
Akhirnya mereka sepakat berpencar menuju ke arah yang berbeda.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Bagaimana nasib Sarah, apakah dia bisa bertahan?
........
Mau sampai tamat kah ini???
Selamat membaca ☺