Foto:Pixabay.com |
VISTORBELITUNG.COM,Kami dicul1k dan dis3kap. Terp4ks4 kami melakukan hal ini agar bisa kabur.
◇◇◇
Satu langkah ... dua langkah ... kuhitung, sekitar lima langkah lagi, aku akan semakin dekat dengan ling*gis itu. Namun, harapanku pupus. Tak ada cara untuk lepas dari be*ka(pan Jarwo. Lengan kekarnya melingkar kuat di leherku. Ling*gis yang tersandar di pohon terlewati begitu saja.
Akhirnya, Jarwo membawaku masuk ke dalam rumah. Menye*retku ke sebuah ruang. Pendaran lampu minyak remang-remang menyambutku di sana. Mataku terfokus pada lampu yang diletakkan di meja tengah.
Jarwo menutup pintu kamar. Memutar pasak dari kayu balok kecil untuk mengunci pintu.
"Kalau kau patuh dan tidak melawan, aku akan bermain lembut. Temani aku sebentar," ucap Jarwo dengan suara pelan dan terdengar menjijikan.
Wajah Jarwo makin beringas, matanya bulat sempurna menatap tubuhku yang menegang di tengah ruang. Sorot matanya terlihat lapar dan penuh pikiran kotor.
"Lepaskan dulu ikatanku. Setelah itu, aku akan memberikan apa yang kau mau." Entah kekuatan dari mana, kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Tanpa rencana, aku melibatkan diri secara sukarela di dalam permainan Jarwo. Aku membujuk, merayu, bersikap patuh dan manut meski da*rah di dada rasanya bergemuruh dan naik turun.
"Ternyata kamu mau juga, yah?" ucapnya. Matanya berbinar, senyum Jarwo terkembang. Senyum yang teramat m3*sum.
"Iya, aku juga mau," jawabku dengan dada sesak.
"Jangan bilang-bilang sama bos, yah," bujuk Jarwo polos, seolah kami sedang membuat rahasia besar yang nakal. Aku mengangguk, mengiyakan, tersenyum sedikit agar terlihat lebih meyakinkan.
Jarwo memutar badanku. Cepat-cepat membuka tali yang mengikat lenganku yang tertekuk ke belakang. Talinya lepas, aku masih diam, belum bereaksi.
Kudengar langkah Jarwo mendekat ke jendela, dia mengintip keluar sebentar. Matanya memandang ke arah dermaga, memantau keadaan. Takut jika bosnya datang.
Saat inilah, aku memburu langkah, meraih lampu minyak di meja. Jarwo membalik badan. Lampu minyak kulem*par ke wajahnya. Minyak di lampu berserakan di dada. Api menjalar secepat dari yang kuduga. Jarwo memekik, berputar seperti orang gil(a. Si Jago merah, menyala terang membakar jambang lebatnya.
Melihat Jarwo tumbang, aku berlari keluar kamar. Mengayuh kaki sekuat tenaga, mengambil ling*gis yang tersandar di pohon dan berlari ke gudang untuk membebaskan Rinda.
Dengan ling*gis, aku mema*tahkan gembok. Pintu kubuka kasar, Rinda membelalakkan mata melihatku datang.
"Apa yang terjadi pada Jarwo?" tanya Rinda panik. Tanganku cekatan membuka ika*tan kaki dan tangan Rinda.
"Di rumah itu," jawabku dingin.
"Dia melepaskanmu?" tanya Rinda tak percaya. Aku menggeleng.
“Dia tidak melepaskanku. Dia ….” Kalimatku terputus. Tidak ada gunanya menceritakan keadaan Jarwo sekarang. Aksi terbaik saat ini adalah lari! "Ayo, Rinda. Kita pergi dari sini."
Rinda tak punya banyak tanya lagi meski tatapan matanya menatapku aneh. Aku membopong tubuh Rinda yang belum bisa berjalan sendiri. Kaki kirinya terkilir parah. Tangan kiri membopong tubuh Rinda, sementara tangan kanan memegang ling*gis sebagai sen*ja*ta.
Baru saja berjalan beberapa langkah, seorang laki-laki besar berbrewok berdiri menghadang di ambang pintu gudang. Aku melihat ke wajahnya yang hitam sempurna. Melepuh dengan jambang yang tidak berbentuk lagi. Jarwo menatap kami dengan tatapan bengis.
Aku dan Rinda beringsut mundur. Ketakutan melihat Jarwo yang kali ini telah menjelma menjadi ib*lis. Wujudnya terlihat seperti monster yang menyeramkan dan dipenuhi ama*rah. Dia melangkah masuk. Sedikit berlari, Jarwo menyergap ke arahku. Aku mencoba melawan dengan mengayunkan ling*gis, namun gagal. Jarwo sedang sigap, sera*nganku dengan mudah ditangkisnya. Ling*gis terpental. Keseimbanganku hilang, Rinda yang tadi kupapah kini terjatuh ke lantai. Sementara aku, kini menjadi target amu*kan Jarwo.
Ram*butku dijam*bak. Pu*ku*lan keras dila*yang*kan ke wa*jah. Hidung, mata, mulut, rahang, dan semua yang ada di sana terkena han*ta*man keras bo*gem Jarwo. Wajahku kebas, tubuhku lemas. Rubuh lunglai ke lantai bagai tak bertulang. Jarwo me(nin*dihku. Tangan besarnya men*ce*kik leherku. Napasku tak jalan, pandangan berkunang. Sedetik lagi, aku mungkin akan berpindah alam.
Namun, saat mataku mulai memburam, tiba-tiba, cekikan Jarwo merenggang. Jalur napasku kembali berjalan normal. Kuraup udara sebanyak-banyaknya hingga terbatuk. Mencoba bangkit dan melihat tubuh Jarwo rubuh ke sisi tubuhku. Kulihat, ada ling*gis ter*tan*cap di punggungnya. Sementara Rinda, berdiri di belakang Jarwo dengan dada yang naik turun.
Dengan sisa tenaga, aku menjauh dari tubuh Jarwo yang bergeming. Dar*ahnya merembes ke lantai. Jarwo tergenang dalam kubangan da*rahnya sendiri.
Senyap! Suasana sangat senyap setelah Jarwo tumbang. Suara yang terdengar hanyalah suara napasku dan napas Rinda yang mencicit. Rinda berdiri sendiri dengan bertumpu pada kaki kiri. Kulihat dia menegang, teramat shock setelah menan*capkan ling*gis ta*jam ke punggung Jarwo.
Aku berdiri dengan tertatih, mendekat ke Rinda dan memeluk tubuh gemetarnya.
"Ayo, kita pergi dari sini," ajakku. Rinda mengangguk lemah. Sedikit bertumpu ke tubuhku. Kami melenggang berjalan keluar gudang.
"Kita kemana? Dengan apa menyeberang?" tanya Rinda.
Aku melihat ke sekitar. Hanya ada danau gelap yang menghampar. Daratan lain serasa jauh di ujung sana.
"Kita akan cari cara untuk menyeberang," jawabku tenang.
Kami berdiri di halaman depan gudang. Menghirup udara malam tepian danau. Kemudian Kuajak Rinda berjalan untuk menjauh dari area seka*pan, menyisiri tepian tanpa tujuan. Riak-riak gelombang danau menghempas, menji*lat kedua kaki kami yang berjalan tanpa alas.
Setelah jauh berjalan, ternyata tidak semua tepian danau bisa dilewati, hingga akhirnya, kami masuk ke dalam hutan untuk memintas jalan ke sisi lain pulau.
Pendaran sinar bulan yang terang membantu kami berjalan membelah perdu. Kami berjalan dengan tenang, tanpa ada yang mengejar di belakang. Jarwo sudah tumbang, mungkin sudah benar-benar ma*ti. Dia tidak akan bangkit lagi mengejar kami. Begitu juga dengan Ardan, dia tidak akan ke sini malam ini. Laki-laki bangs4t itu sedang beroperasi menjalankan misi. Makan malam dengan mangsa barunya, memanipulasi perempuan itu dengan kata-kata penuh ti*pu daya untuk memenangkan hatinya dengan berkedok cinta.
Meski telah terbebas dari gudang penye*ka*pan, kini aku dan Rinda harus berjuang mencari sesuatu untuk menyeberang.
Kami berjalan tertatih di tengah hutan, sampai langkah kami tiba di sebuah lahan yang terbuka. Luasnya kuperkirakan tak lebih dari setengah luas lapangan volley. Area ini bersih dari perdu. Ada gundukan-gundukan tanah, jumlahnya ada 5 buah. 4 di antaranya telah padat dan ditumbuhi rumput. Dan satu gundukan, tanahnya masih terlihat basah.
“Ini apa?” tanyaku pada Rinda.
“Kuburan. Dan itu, mungkin kuburan Diana,” jawab Rinda, dia gemetaran lagi.
Kulihat empat gundukan tanah yang lain. Tak perlu lagi bertanya pada Rinda, aku bisa menebak apa isi di dalamnya.
Mimpi buruk yang mengerikan.
“Ayo, Rinda. Apapun itu caranya, kita harus pergi dari sini,” ucapku bergidik ngeri.
💞💞💞
Selengkapnya di aplikasi KBM
Judul: Suamiku M4ti Di Tanganku
Penulis: Shira Aldila