 |
| Foto:India dan Brazil Pertimbangankan Tarif Balasan AS |
VISTORBELITUNG.COM,India dan Brasil dikabarkan sedang mempertimbangkan untuk mengambil tindakan balasan terhadap Amerika Serikat (AS) setelah Washington memberlakukan tarif impor yang sangat tinggi. Kebijakan tarif ini, yang diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump, telah memicu kemarahan di kedua negara dan menimbulkan kekhawatiran akan perang dagang yang semakin meluas.
Tarif baru yang diberlakukan AS, dengan total 50%, menargetkan produk-produk ekspor dari India dan Brasil. Untuk India, tarif ini disebut sebagai hukuman atas pembelian minyak mentah dari Rusia. Sementara itu, tarif terhadap Brasil dikaitkan dengan penuntutan mantan presidennya, Jair Bolsonaro, yang merupakan sekutu dekat Trump.
Pemerintah India telah menyebut tarif ini sebagai "tidak adil, tidak dapat dibenarkan, dan tidak masuk akal." Kementerian Luar Negeri India menegaskan bahwa keputusan mereka untuk mengimpor minyak dari Rusia didasarkan pada faktor pasar untuk memastikan ketahanan energi bagi 1,4 miliar penduduknya. India menyatakan akan mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk melindungi kepentingan nasionalnya.
Di Brasil, Presiden Lula da Silva juga mengutuk keras tarif yang diberlakukan AS. Ia bahkan telah mengajukan permohonan konsultasi kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk mencari solusi atas sengketa dagang ini. Permohonan konsultasi ini merupakan langkah pertama dalam proses penyelesaian sengketa di WTO.
Tarif yang tinggi ini tidak hanya merugikan India dan Brasil, tetapi juga berpotensi mengganggu rantai pasokan global dan memicu kenaikan harga bagi konsumen AS. Para ekonom memperkirakan bahwa tarif sebesar 50% dapat mengikis miliaran dolar dari perdagangan tahunan dan menghambat pertumbuhan ekonomi India.
Tindakan balasan yang mungkin diambil oleh kedua negara belum diumumkan secara resmi. Namun, para ahli memperkirakan bahwa India dan Brasil dapat memberlakukan tarif serupa pada produk-produk AS atau mengambil langkah-langkah diplomatik lainnya. Situasi ini menunjukkan ketegangan perdagangan global yang semakin meningkat, terutama di antara negara-negara anggota blok BRICS.