![]() |
Foto: Aljazeera |
VISTORBELITUNG.COM,Konflik Israel-Palestina yang berlarut-larut dan penuh ketegangan sedang menyaksikan sebuah transformasi diplomatik yang signifikan. Gelombang negara-negara yang secara formal mengakui kedaulatan Palestina semakin bertambah, mengangkat isu ini melampaui sekadar solidaritas simbolis menuju ranah hukum internasional dan diplomasi yang praktis. Tren ini merepresentasikan pergeseran strategi yang mendalam dan mencerminkan kekecewaan yang semakin dalam terhadap proses perdamaian yang mandek.
"Dalam sebuah langkah terkoordinasi pada akhir Mei 2024, tiga negara Eropa terkemuka Irlandia, Spanyol, dan Norwegia Secara resmi mengakui Negara Palestina. Mereka bergabung dengan lebih dari 140 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lainnya yang telah lebih dulu mengambil langkah ini, yang sebagian besar berasal dari Afrika, Asia, dan Amerika Latin."
Langkah dari negara-negara Eropa ini sangatlah signifikan. Meskipun pengakuan dari anggota dunia Arab dan Non-Blok sudah umum terjadi selama beberapa dekade, keputusan oleh negara-negara Eropa Barat menandakan sebuah perpecahan dalam konsensus Barat tradisional. Konsensus tersebut, yang sebagian besar dipimpin oleh Amerika Serikat dan kekuatan Eropa kunci, selama ini berpendapat bahwa kedaulatan negara seharusnya menjadi hasil dari negosiasi langsung antara Israel dan Otoritas Palestina.
Keputusan oleh negara-negara ini didorong oleh beberapa faktor kunci:
1. Imperatif Solusi Dua Negara: Para pendukung berargumen bahwa mengakui Palestina memperkuat kelayakan solusi dua negara, yang mereka pandang sebagai satu-satunya jalan menuju perdamaian yang adil dan langgeng. Mereka percaya bahwa menegaskan hak Palestina untuk eksis sebagai sebuah negara dalam perbatasan pra-1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, sangat penting untuk melestarikan tujuan ini di tengah ekspansi pemukiman yang semakin meningkat di Tepi Barat.
2. Respons terhadap Krisis Kemanusiaan di Gaza: Konflik yang menghancurkan di Gaza menyusul serangan 7 Oktober telah mengintensifkan pengawasan internasional. Bagi banyak negara, pengakuan ini adalah alat politik yang kuat untuk menekan Israel dan menegaskan kembali komitmen terhadap hak dan penentuan nasib sendiri bangsa Palestina.
3. Kekecewaan terhadap Kebuntuan Politik: Puluhan tahun negosiasi yang tersendat-sendat gagal menghasilkan kesepakatan akhir. Kelumpuhan diplomatik ini membuat banyak negara menyimpulkan bahwa menunggu hasil negosiasi bukan lagi strategi yang viable. Pengakuan dipandang sebagai cara untuk memecah kebuntuan dan menciptakan fakta baru di lapangan diplomatik.
Terlepas dari jumlahnya yang bertambah, pengakuan ini tidak universal dan menyoroti pembelahan geopolitik yang besar.
Pandangan Mayoritas (Pro-Pengakuan): Kelompok ini, yang mencakup negara-negara seperti Swedia, Rusia, Tiongkok, India, dan Afrika Selatan, percaya bahwa pengakuan adalah langkah sah untuk menegakkan hukum internasional dan mengoreksi ketidakadilan sejarah. Mereka sering kali menunjuk pada diterimanya Palestina sebagai negara pengamat non-anggota di Majelis Umum PBB pada tahun 2012 sebagai dasar hukum.
Pandangan Minoritas yang Berpengaruh (Kontra): Amerika Serikat, sekutu terdekat Israel, berpendapat bahwa negara Palestina harus dicapai melalui negosiasi langsung. Kekuatan Eropa kunci seperti Jerman dan Prancis, meskipun menyatakan dukungan untuk solusi dua negara, sejauh ini menolak untuk mengakui Palestina secara unilateral, dengan argumen bahwa hal itu harus menjadi hasil dari perdamaian yang dinegosiasikan. Israel sangat menentang pengakuan unilateral ini, memandangnya sebagai "hadiah untuk terorisme" yang merusak perundingan langsung.
Pengakuan formal adalah tindakan politik yang berdaulat, bukan solusi ajaib. Ini tidak serta-merta menciptakan negara yang sepenuhnya berdaulat dengan kendali atas perbatasan, ruang udara, dan keamanannya sendiri. Otoritas Palestina masih menjalankan pemerintahan sendiri yang terbatas di bagian-bagian Tepi Barat, sementara Hamas menguasai Gaza.
Namun, dampaknya nyata:
· Peningkatan Status Diplomatik: Hal ini memungkinkan peningkatan status misi diplomatik menjadi kedutaan besar.
· Tekanan Moral dan Politik: Ini memperkuat posisi Palestina di forum internasional seperti PBB dan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
· Legitimasi Simbolis: Ini memberikan bobot legal dan simbolis status kenegaraan bagi perjuangan Palestina di panggung global.
Pengakuan kedaulatan Palestina oleh Irlandia, Spanyol, dan Norwegia telah membuka front baru dalam konflik Israel-Palestina. Ini menandai peralihan dari pendekatan yang berpusat pada negosiasi ke pendekatan yang berpusat pada pengakuan bagi sebagian besar komunitas internasional. Meskipun tidak serta-merta mencapai perdamaian di lapangan, langkah ini menandakan niat yang jelas untuk membentuk kembali lanskap diplomatik dan menerapkan tekanan yang meningkat untuk sebuah resolusi yang menjamin kedaulatan, keamanan, dan martabat bagi kedua bangsa. Momentum ini menunjukkan bahwa lebih banyak negara mungkin akan mengikuti, memastikan bahwa pertanyaan tentang kedaulatan Palestina akan tetap berada di garis depan urusan internasional.