Listrik Aceh Sudah Pulih 93%": Kontroversi Pernyataan Menteri Bahlil dan Sentilan "Laporan ABS" di Media Sosial -->

Listrik Aceh Sudah Pulih 93%": Kontroversi Pernyataan Menteri Bahlil dan Sentilan "Laporan ABS" di Media Sosial

Dec 9, 2025, December 09, 2025

 

Foto:salah satu warga yang mengeluhkan Pernyataan Miskom Mentri ESDM Bahlil

VISTORBELITUNG.COM,Sebuah pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengenai pemulihan listrik di Aceh menjadi sorotan dan menuai kritik tajam dari publik, khususnya warga Aceh. Dalam suatu kesempatan di hadapan Presiden Prabowo Subianto pada Minggu siang, Bahlil melaporkan bahwa pemulihan pasokan listrik di wilayah tersebut telah mencapai 93 persen.


Namun, laporan kemajuan ini justru dibalas dengan sinisme dan tuduhan oleh warganet. Unggahan di media sosial, termasuk citra grafis yang viral, menyebut pernyataan Bahlil sebagai "laporan ABS (Asal Bapak Senang)" sebuah istilah yang menyiratkan bahwa laporan tersebut dibuat hanya untuk menyenangkan atasan tanpa mencerminkan kondisi sesungguhnya di lapangan. Kritik lebih keras bahkan menyebut bahwa Ketum Golkar itu "telah membohongi presiden".


Insiden ini menyoroti kesenjangan klasik antara laporan resmi pemerintah dengan pengalaman sehari-hari masyarakat. Di satu sisi, angka 93% kemungkinan merujuk pada persentase wilayah atau pelanggan yang secara teknis telah terhubung kembali dengan jaringan (rasio elektrifikasi) setelah adanya gangguan atau perbaikan infrastruktur.


Di sisi lain, yang dirasakan warga Aceh adalah ketidakstabilan pasokan yang berlanjut, seperti pemadaman bergilir, tegangan listrik yang tidak stabil, atau durasi gangguan yang masih panjang di beberapa titik. Bagi mereka, "pemulihan" berarti listrik menyala secara andal dan konsisten, bukan sekadar tercatat "terhubung" dalam sistem.


Mengapa Publik Merasa Dibohongi?


1. Pengalaman Langsung Bertolak Belakang: Ketika warga masih mengalami pemadaman rutin, pernyataan "93% pulih" terasa seperti pengingkaran atas kesulitan yang mereka alami.


2. Bahasa yang Tidak Sensitif: Penyampaian angka persentase yang tinggi tanpa konteks tentang tantangan yang tersisa dapat dianggap tidak empatik dan mengabaikan keluhan riil.


3. Krisis Kepercayaan: Istilah "ABS" yang muncul mencerminkan erosi kepercayaan sebagian publik terhadap laporan resmi, yang dianggap lebih bersifat politis dan pencitraan daripada teknis dan solutif.


Untuk menutup kesenjangan persepsi ini, diperlukan langkah-langkah berikut:


1. Transparansi Data: Pemerintah dan PLN perlu menjelaskan secara rinci apa indikator "93% pemulihan" itu, mencakup daerah mana saja, dan apa saja pekerjaan yang masih tersisa.


2. Komunikasi Proaktif dan Empatik: Alih-alih hanya menyampaikan angka keberhasilan, penting untuk mengakui masalah yang masih ada, menjelaskan penyebabnya, serta menyampaikan timeline perbaikan yang realistis kepada publik.


3. Fokus pada Keandalan (Reliability): Target tidak boleh berhenti pada "koneksi", tetapi harus naik menjadi "kualitas pasokan yang stabil dan kontinu". Ini membutuhkan investasi dan perbaikan infrastruktur jangka panjang.


Kontroversi pernyataan Menteri Bahlil ini lebih dari sekadar soal persentase listrik. Ini adalah pelajaran tentang pentingnya komunikasi pemerintah yang kredibel dan berbasis fakta lapangan. Angka statistik akan kehilangan maknanya jika tidak selaras dengan pengalaman nyata masyarakat. Untuk memulihkan kepercayaan, pemerintah harus beralih dari sekadar "melaporkan kemajuan" menjadi "mendemonstrasikan perbaikan" yang dapat dirasakan langsung oleh warga, khususnya di Aceh yang telah lama menuntut pelayanan listrik yang lebih baik.


Dukungan dari pimpinan tertinggi harus digunakan sebagai momentum untuk mempercepat perbaikan, bukan sebagai panggung untuk laporan yang justru memantik ketidakpercayaan. Warga Aceh menunggu bukti nyata, bukan hanya angka-angka yang terdengar indah di atas kertas.

TerPopuler