![]() |
| Foto:Zohran Kwame Mamdani |
VISTORBELITUNG.COM,Wacana politik di Amerika Serikat seringkali memiliki gaung yang melintasi batas negara, dan pemilihan wali kota di kota ikonik seperti New York City (NYC) pun tak luput dari perhatian global. Belakangan ini, muncul sentimen yang kuat dan kontroversial di kalangan sejumlah warga Israel, yang menyatakan bahwa mereka tidak akan menginjakkan kaki di "Big Apple" jika Wali Kota petahana (atau calon) dengan nama Mamdani memenangkan pemilihan dan menjabat sebagai wali kota.
Pernyataan ini secara khusus merujuk pada tokoh politik progresif, Zohran Kwame Mamdani. Meskipun ia saat ini menjabat sebagai anggota Majelis Negara Bagian New York, dan bukan calon wali kota, pandangan dan platform politiknya yang blak-blakan terutama mengenai isu Israel-Palestina telah menjadikannya sosok yang memecah belah dan memicu reaksi keras.
Sentimen ini, meskipun mungkin hanya diungkapkan oleh sebagian kecil warga Israel, menyoroti betapa dalamnya isu Timur Tengah terjalin dalam politik lokal Amerika dan bagaimana hal itu dapat memengaruhi keputusan pribadi, bahkan rencana perjalanan internasional.
Reaksi keras ini sebagian besar bersumber dari sikap politik Mamdani yang dianggap sangat kritis terhadap Israel. Mamdani dikenal sebagai pendukung vokal gerakan BDS (Boikot, Divestasi, dan Sanksi), sebuah kampanye global yang bertujuan memberikan tekanan ekonomi dan politik pada Israel untuk mengakhiri pendudukan wilayah Palestina.
Dukungan BDS Bagi banyak warga Israel dan pendukung Israel, BDS dipandang sebagai gerakan anti-Semit yang berupaya mendelegitimasi keberadaan negara Israel. Dukungan seorang tokoh politik terkemuka di NYC terhadap BDS adalah sinyal bahaya yang serius.
Kritik Terhadap Israel atas Pernyataan Mamdani yang mengkritik kebijakan pemerintah Israel dan solidaritasnya yang kuat dengan perjuangan Palestina telah menciptakan persepsi di kalangan beberapa warga Israel bahwa ia adalah seorang tokoh anti-Israel.
Persepsi Ketidakamanan: Kekhawatiran yang diungkapkan oleh para pelancong Israel adalah bahwa di bawah kepemimpinan yang mereka anggap tidak bersahabat, komunitas Yahudi dan Israel di NYC mungkin akan menghadapi peningkatan sentimen permusuhan atau bahkan tindakan kekerasan. Meskipun hal ini mungkin merupakan ketakutan yang berlebihan (paranoia), persepsi tersebutlah yang membentuk keputusan mereka.
Apakah sentimen ini akan benar-benar mengurangi jumlah turis Israel ke New York?
Pada akhirnya, keputusan kunjungan wisata sebagian besar didorong oleh faktor ekonomi, daya tarik budaya, dan urusan keluarga, bukan semata-mata oleh siapa yang menduduki balai kota.
Namun, keberadaan pernyataan ini menunjukkan adanya fragmentasi politik dan sosial yang mendalam. New York City adalah rumah bagi salah satu komunitas Yahudi terbesar di luar Israel, dan wali kota memiliki peran simbolis yang penting dalam menjamin rasa aman dan inklusivitas semua komunitasnya.
Sentimen "tidak akan berkunjung" ini adalah cerminan dari betapa terpolarisasinya politik Timur Tengah, yang kini merembes ke kancah politik lokal AS. Ini menjadi pengingat bahwa bagi sebagian orang, afiliasi politik seorang pemimpin kota metropolitan dapat menjadi faktor penentu dalam rencana perjalanan global.
