![]() |
| Foto: Tribunnews/Chandra Sudarto |
VISTORBELITUNG.COM,Sorotan publik kembali tertuju pada praktik di balik jeruji besi, menyusul pengakuan dan permintaan maaf dari Chandra Sudarto, Kalapas (Kepala Lembaga Pemasyarakatan) Kelas III Enemawira, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Insiden yang terjadi di lingkungan lembaga pemasyarakatan yang dipimpinnya itu memicu gelombang protes setelah terungkap adanya pemaksaan terhadap warga binaan (napi) untuk mengonsumsi daging anjing. Kasus ini mempertanyakan kembali komitmen penghormatan terhadap hak dasar, martabat manusia, dan sensitivitas kultural di dalam institusi pemasyarakatan Indonesia.
Menurut informasi yang beredar dan diakui oleh sang Kalapas, insiden tersebut terjadi di lingkungan Lapas Enemawira. Chandra Sudarto diduga memaksa sejumlah warga binaan untuk memakan daging anjing yang disediakan. Motivasi di balik pemaksaan ini belum sepenuhnya jelas, namun praktik tersebut langsung menuai kecaman keras.
Bagi banyak kalangan di Indonesia, terutama di daerah seperti Sangihe yang memiliki keberagaman etnis dan keyakinan, anjing bukan sekadar hewan peliharaan. Bagi sebagian kelompok, anjing dianggap sebagai sahabat manusia dan mengonsumsinya adalah tabu. Sementara di komunitas lain, mengonsumsi daging anjing adalah bagian dari tradisi kuliner. Namun, memaksakan suatu praktik, apalagi yang bersentuhan dengan keyakinan pribadi, etnis, dan selera moral individu, jelas melangkahi batas wewenang dan norma penghormatan hak asasi manusia.
Menghadapi tekanan dan investigasi yang kemungkinan dilakukan oleh atasan (Kemenkumham Wilayah Sulawesi Utara), Chandra Sudarto akhirnya angkat bicara. Dalam pernyataan resminya, ia menyampaikan permintaan maaf secara terbuka atas tindakannya yang dinilai tidak tepat dan telah mencederai perasaan warga binaan serta masyarakat luas.
“Saya menyadari bahwa tindakan saya keliru dan tidak sepatutnya dilakukan. Saya meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh warga binaan yang terkena dampak, keluarga mereka, dan masyarakat. Tindakan itu tidak mencerminkan nilai-nilai pemasyarakatan yang menghormati harkat dan martabat manusia,” ujar Sudarto dalam pernyataannya.
Ia juga berjanji untuk tidak mengulangi tindakan serupa dan akan lebih berhati-hati dalam bertindak serta mengambil keputusan, dengan selalu mempertimbangkan aspek hak asasi manusia, latar belakang budaya, dan agama dari setiap warga binaan.
Tanggapan dan Dampak yang Lebih Luas
Insiden ini membuka sejumlah pertanyaan kritis mengenai budaya dan pengawasan di dalam lapas. Beberapa hal yang perlu menjadi refleksi bersama:
1. Pelatihan dan Sensitivitas Petugas: Perlunya penguatan pelatihan bagi petugas pemasyarakatan tidak hanya pada aspek keamanan dan administrasi, tetapi juga pada psikologi warga binaan, hak asasi manusia, serta sensitivitas terhadap perbedaan suku, agama, dan budaya.
2. Mekanisme Pengaduan yang Protektif: Pentingnya memastikan bahwa warga binaan memiliki saluran pengaduan yang aman, mudah diakses, dan bebas dari rasa takut akan pembalasan jika mengalami perlakuan yang tidak semestinya.
3. Fungsi Pemasyarakatan yang Ideal: Lapas seharusnya menjadi tempat pembinaan untuk reintegrasi sosial, bukan tempat di mana martabat seseorang diinjak-injak. Praktik pemaksaan seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar sistem pemasyarakatan, yaitu membina narapidana agar menjadi pribadi yang lebih baik.
4. Budaya Lokal dan Etika: Di daerah seperti Sangihe yang kaya dengan budaya, otoritas harus menjadi contoh dalam menghormati perbedaan, termasuk dalam hal preferensi makanan yang sangat personal dan sering kali terkait dengan nilai-nilai keyakinan.
Permintaan maaf Kalapas Chandra Sudarto adalah langkah awal yang penting untuk memulai proses perbaikan. Namun, permintaan maaf tidak boleh menjadi titik akhir. Kementerian Hukum dan HAM, melalui Kantor Wilayah setempat, perlu melakukan investigasi mendalam terhadap insiden ini untuk memastikan akuntabilitas dan mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.
Kasus di Lapas Enemawira ini seharusnya menjadi alarm bagi semua lapas di Indonesia untuk mengevaluasi praktik-praktik internalnya. Penghormatan terhadap hak dan martabat warga binaan harus menjadi prioritas utama, karena bagaimana kita memperlakukan mereka yang paling rentan di dalam penjara justru menjadi cermin nyata dari peradaban dan komitmen negara terhadap hak asasi manusia.
