![]() |
| Foto:Pixabay |
VISTORBELITUNG.COM,Isu mengenai kehalalan dan keharaman Bitcoin (BTC), sebagai aset kripto yang paling populer, selalu menjadi perbincangan hangat di kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia. Perbedaan pendapat dan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga keagamaan utama, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), menjadi acuan penting bagi masyarakat muslim.
Lantas, bagaimana pandangan syariat Islam terhadap Bitcoin? Apakah ia diharamkan sepenuhnya, ataukah ada kondisi yang membuatnya menjadi halal?
Pandangan Utama DSN-MUI Mengenai Cryptocurrency
Di Indonesia, acuan hukum syariah yang paling dipegang adalah fatwa dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). DSN-MUI telah mengeluarkan keputusan yang membagi hukum penggunaan dan perdagangan aset kripto menjadi dua kategori utama, yaitu berdasarkan fungsinya.
1. Bitcoin sebagai Mata Uang (Haram)
DSN-MUI secara tegas menyatakan bahwa penggunaan cryptocurrency (termasuk Bitcoin) sebagai mata uang atau alat tukar hukumnya adalah haram.
Alasan utama di balik pengharaman ini adalah:
Mengandung Gharar dan Dharar: Kripto dianggap mengandung unsur ketidakpastian (gharar) yang tinggi karena volatilitas nilainya yang ekstrem, serta potensi kerugian (dharar) yang besar bagi pihak yang bertransaksi. Prinsip keadilan dalam Islam menghendaki transaksi yang jelas dan tidak merugikan.
Bertentangan dengan Regulasi Negara: Di Indonesia, mata uang kripto tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan peraturan Bank Indonesia.
2. Bitcoin sebagai Komoditas/Aset Digital (Tergantung Syarat)
MUI membedakan pandangan jika cryptocurrency diperdagangkan bukan sebagai mata uang, melainkan sebagai komoditas atau aset digital.
Menurut DSN-MUI, cryptocurrency tidak sah untuk diperjualbelikan sebagai komoditas jika:
Tidak Memenuhi Syarat Sil'ah: Aset kripto seperti Bitcoin pada umumnya dianggap tidak memenuhi syarat sebagai sil'ah (barang yang sah diperjualbelikan dalam Islam), karena:
• Tidak memiliki wujud fisik yang nyata (bay' al-ma'dum).
• Mengandung unsur spekulasi tinggi (qimar atau perjudian).
• Tidak memiliki nilai yang jelas dan pasti.
Namun, DSN-MUI memberikan pengecualian yang menyatakan bahwa suatu cryptocurrency sah untuk diperjualbelikan (halal) jika:
• Memenuhi Syarat Sil'ah: Dianggap sebagai komoditas/aset yang memenuhi syarat sebagai sil'ah.
• Memiliki Underlying Asset: Memiliki aset dasar (aset yang mendasari/jaminan) yang jelas.
• Memiliki Manfaat yang Jelas: Memiliki manfaat nyata yang dapat dipertanggungjawabkan.
• Tidak Mengandung Gharar, Dharar, dan Qimar: Transaksi dilakukan dengan prinsip keadilan dan transparansi, serta jauh dari unsur ketidakpastian, kerugian, dan perjudian.
Posisi Bitcoin (BTC) Berdasarkan Kriteria Syariah
Bitcoin (BTC), sebagai aset kripto yang paling awal, umumnya tidak memiliki aset fisik atau aset dasar (seperti emas, properti, atau saham perusahaan) yang menjadi jaminan nilainya. Nilai BTC murni didasarkan pada permintaan pasar, algoritma, dan kepercayaan komunitasnya.
Oleh karena itu, dalam konteks fatwa DSN-MUI:
• Penggunaan BTC sebagai alat tukar/mata uang: HARAM.
• Perdagangan BTC sebagai komoditas/aset: Cenderung HARAM karena tidak memiliki underlying asset yang jelas dan sangat rentan terhadap gharar (volatilitas ekstrem).
Pandangan ini sejalan dengan keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII yang secara umum mengharamkan penggunaan mata uang kripto sebagai mata uang, tetapi membolehkan sebagai komoditas yang memenuhi syarat syariah (memiliki underlying asset dan bebas dari gharar).
Bagi umat Muslim di Indonesia, hukum terkait Bitcoin (BTC) didasarkan pada fatwa DSN-MUI yang menjadi pedoman utama:
• BTC sebagai mata uang atau alat bayar: Haram.
• BTC sebagai aset yang diperdagangkan: Cenderung Haram, karena Bitcoin tidak memiliki underlying asset dan dinilai mengandung gharar (spekulasi/ketidakpastian) yang tinggi.
Penting bagi investor muslim untuk selalu berhati-hati dan memastikan setiap investasi di bidang cryptocurrency sesuai dengan prinsip syariah. Jika suatu aset kripto diragukan kehalalannya, meninggalkan transaksi tersebut (wara') merupakan pilihan yang lebih aman dalam beragama.
